Jumat, 18 Desember 2015

HUKUM INTERNASIONAL MASALAH TENTANG LAUT CHINA SELATAN

ADEO VICTOR GRESSANDY
2014-050-193
HUKUM INTERNASIONAL
















ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan

Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan sengketa wilayah Laut China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi masih belum menunjukkan titik terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negara-negara ASEAN.
Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama kalinya dalam 45 tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa.
Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan China–Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei–merasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, keempat negara itu berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa.
Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China. Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan tersebut.
Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal tudingan itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN.
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam terhadap kegagalan itu. “Kami membutuhkan waktu untuk pulih,” ungkapnya seperti dikutip Wsj.com. “ASEAN harus belajar untuk mengonsolidasi dan mengoordinasikan sikap jika ingin terlibat dalam komunitas global.”
Kekecewaan serupa ditunjukkan Menlu RI Marty Natalegawa. Dia bahkan sempat mengatakan kegagalan itu sangat tidak bertanggung jawab setelah KTT berakhir, Jumat (13/7/12). Namun, dia kemudian menyangkal telah terjadi perpecahan di antara anggota.
Menurut Marty, pertemuan itu telah menginspirasinya untuk terus mendorong pemberlakuan ASEAN Code of Conduct (CoC) mengenai sengketa Laut China Selatan. “Ini akan membuat saya semakin bertekad untuk mendorong CoC sehingga semua menjadi semakin kontekstual,” ungkapnya.
“Sekalipun ada insiden ini, kita harus tetap memiliki tujuan. Kita harus terus maju dan bukan terpinggirkan oleh insiden ini,” tegas Marty.
Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor berita China Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China.
Karena itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang berada di dekat negara-negara tetangga mereka.
Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai.
Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu.
Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut.
Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu karena bisa dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.


Kawasan laut china selatan yang kaya akan sumber daya alam

Dipertanyakan
Pakar ASEAN dari University of New South Wales, Carlyle Thayer, menilai kegagalan menghasilkan komunike membuat komitmen ASEAN patut dipertanyakan.
“ASEAN merupakan penjaga otonomi regional Asia Tenggara dengan menerapkan perlindungan dari masuknya kekuatan-kekuatan besar. Namun (kegagalan) ini menunjukkan China mencoba memecah perlindungan itu dan memengaruhi satu negara tertentu. Ini akan memengaruhi setiap persolan yang mulai menyentuh negara China,” jelas Thayer.
Ia mengatakan persoalan itu juga menunjukkan perpecahan di antara negara-negara anggota ASEAN. Perpecahan tersebut antara negara-negara yang bersengketa dengan China dan negara yang mengandalkan perdagangan dan ekonomi dengan China. Meski secara tidak langsung menyebut satu negara, Kamboja diketahui menerima ratusan juta dolar AS dari China dalam bentuk pinjaman lunak dan investasi.
Para analis mengatakan kegagalan ASEAN menghasilkan komunike bersama justru menguntungkan Beijing. “Negara-negara Asia Tenggara harus menghasilkan sikap bersama,” ungkap Dan Blumenthal, Direktur Kajian Asia dari American Enterprise Institute, sebuah lembaga kajian konservatif. “Sekali lagi mereka mengalami kegagalan, itu merupakan kemenangan bagi China.”
Associate Professor Robert C Beckman, Direktur Centre for International Law di National University, Singapura, menilai perselisihan di antara negara-negara ASEAN mengenai komunike tersebut bakal mempercepat prospek tercapainya kesepakatan mengenai code of conduct, sebab China merasa tidak semua negara ASEAN menentang mereka.
“Yang menjadi persoalan utama ialah apakah ASEAN dapat mencapai konsensus dan tetap bersatu dengan prinsip-prinsip mereka selama negosiasi dengan China,” ungkapnya.

Kepulauan spratly, salah satu wilayah sengketa di laut china selatan
Kemunduran AS
Menurut Blumenthal, untuk menghasilkan komunike bersama, AS sebagai negara adidaya dan memiliki kepentingan sangat besar di Laut China Selatan harus merangkul negara-negara yang selama ini dalam pelukan China, seperti Kamboja.
Menurut dia, Kamboja memiliki hubungan sangat erat dengan China yang gencar mengucurkan bantuan dana dan infrastruktur. “Jika China membeli Kamboja, kita harus bekerja keras untuk bisa menghentikannya,” ungkap Blumenthal.
Kegagalan ASEAN menghasilkan komunike bersama tidak bisa dimungkiri merupakan kemunduran bagi AS dalam upaya mereka meningkatkan pengaruh di kawasan Asia Pasifik dan menjadikan Asia Tenggara sebagai benteng untuk membendung pengaruh China. Kegagalan itu terjadi di depan mata AS sendiri, yang hadir dalam pertemuan dengan diwakili Menlu AS Hillary Clinton.
“AS akan sangat kecewa ASEAN gagal mencapai kesepakatan mengenai persoalan ini,” ungkap Ian Storey, analis senior di Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.
“Namun, tentu saja mereka tidak bisa mengungkapkan secara terang-terangan setelah berusaha keras mendesak semua pihak untuk duduk bersama membahas persoalan itu,” ungkapnya.
Kepentingan AS di Laut China Selatan terkait dengan kebebasan pelayaran di perairan seluas 1,2 juta mil persegi yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Setiap tahun, nilai perdagangan yang melintasi perairan tersebut mencapai US$5,3 triliun.
Dari jumlah itu, sekitar US$1,2 triliun merupakan nilai perdagangan AS. Banyak pengalihan kapal kargo di wilayah tersebut. Jika terjadi konflik di Laut China Selatan, itu akan menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar.

Babak Baru Perang Laut China Selatan
Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara ASEAN turut memperebutkan wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus sengketa adalah Kepulauan Paracel dan Spratly.
Sejarah membuktikan, sengketa Laut China Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel, padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China.
Setelah perang itu, China menguasai Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut.
Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam.
Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan China, Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor.





Saling Klaim
Klaim wilayah, China memotong ZEE Indonesia
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan tersebut.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama.
Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17.
Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat China.
Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang menetapkan zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal pengukuran lebar laut teritorial.
Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly.
Militer Malaysia telah menduduki tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian terselatan Spratly.

Sumber Daya Alam
Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan adalah kandungan gas alam dan minyak buminya. China menerbitkan estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly mungkin mengandung 213 miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan para peneliti Amerika Serikat.
Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, Laut China Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik gas alam, sama besar dengan cadangan gas alam Qatar.
Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya. Selain itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut China Selatan. Lokasinya pun strategis untuk pos pertahanan militer.
Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut China Selatan. Izin eksplorasi direncanakan diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. China menyatakan tindakan Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka.
Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam sejarah sengketa Laut China Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh China masuk tanpa izin ke wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi minyak bumi lepas pantai di dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh China mencoba membangun pertahanan militer di Spratly.
Vietnam juga pernah menuduh China mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam. Tuduhan ini memicu protes anti-China di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh. Sebaliknya, China menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan menembak di salah satu pesisirnya.



Campur Tangan Internasional
China berusaha bernegosiasi dengan negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di Laut China Selatan. Namun China cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian ditentang pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional.
Salah satu hasil mediasi internasional adalah Konvensi PBB tahun 1982 yang mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi. Saat dipraktikkan, konvensi itu malah memicu salip-menyalip pengakuan kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap klaim historis China dan Vietnam atas Paracel dan Spratly.
Pada 4 November 2002, ASEAN dan China juga mendeklarasikan kesepakatan kode etik, salah satunya menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata.
Filipina dan Vietnam juga telah mempunyai perjanjian bilateral dengan China, namun perjanjian itu hampir tidak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.
Selain keenam negara yang bersengketa, Amerika Serikat juga punya kepentingan di laut tersebut. Kepentingan ini berhubungan dengan fakta Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran lebih dari setengah perdagangan dunia.
Ada pula kepentingan militer, sehingga tak heran Amerika Serikat menempatkan pos militernya di sana. Walau menyatakan akan bersikap netral, ternyata Paman Sam memberikan bantuan militer kepada sekutu lamanya, Filipina.
Laut China Selatan bisa jadi akan perang. Bulan lalu, China menyatakan telah memulai patroli laut yang siaga perang. Tindakan ini untuk menentang sebuah hukum Vietnam yang mendeklarasikan kedaulatan Vietnam atas Paracel dan Spratly.


Kepentingan Amerika Serikat di Laut China Selatan
Wilayah sengketa laut china selatan
Perjalanan 11 hari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton ke enam negara Asia menunjukkan kuatnya keinginan AS mempertahankan dominasi mereka di Asia Pasifik. AS ingin memperlihatkan dirinya sebagai penengah dalam penyelesaian ketegangan di Laut China Selatan.
Isu Laut China Selatan menjadi tema pembicaraan yang dibawa Hillary setiap kali mendarat di negara yang ia kunjungi. AS seakan menjadi negara yang bijak untuk meminta negara-negara yang bersengketa untuk tidak menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik wilayah di kawasan itu.
Ketegangan di Laut China Selatan meningkat karena negara-negara di sekitar kawasan itu saling mengklaim wilayah mereka. Kita melihat bagaimana ketegangan yang terjadi antara Filipina dan China, China dan Jepang, China dan Vietnam, dan banyak lagi.
Kawasan Laut China Selatan bukan hanya strategis dalam lalu lintas laut, tetapi juga kaya dengan sumber daya alam. Itulah yang membuat semua negara saling mengklaim wilayah karena ada potensi ekonomi yang luar biasa di kawasan itu.
Secara ekonomi dan militer memang China dianggap sebagai negara yang paling superior dalam perebutan wilayah di Laut China Selatan itu. Semua negara sungguh khawatir jika sampai persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara damai, maka China akan bisa mendominasi.
Bagi AS sendiri persoalannya bukan sekadar China dikhawatirkan akan bisa menguasai wilayah tersebut. Yang lebih ditakutkan AS akan pengaruh China yang akan semakin menguat dan secara perlahan akan menggeser dominasi AS sebagai penguasa dunia.
Untuk itulah AS mencoba turut campur dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di kawasan Laut China Selatan. AS bukan hanya ingin mengirimkan pesan bahwa mereka masih hadir di kawasan itu, tetapi sekaligus menekan China agar tidak berbuat macam-macam.
Upaya untuk mengimbangi pengaruh China memang menjadi strategi global AS. Langkah itu tidak hanya dilakukan melalui jalur diplomasi, tetapi juga dengan menggunakan kekuatan militer. AS terus memperkuat keberadaan militer mereka di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu yang menjadi bagian dari strategi global mereka adalah penempatan pasukan marinir di Darwin, Australia. Keberadaan pasukan khusus Angkatan Laut AS di utara Australia bukan untuk mengancam Indonesia, tetapi untuk memberikan pesan kepada China bahwa mereka masih menguasai kawasan Asia Pasifik.

Hillary Rodham Clinton (Menlu AS)
Dengan krisis ekonomi yang dihadapi AS, memang mereka tidak bisa serta merta membangun pangkalan militer di Asia Pasifik ini. Keberadaan pasukan marinir AS di Darwin sangatlah minimal dan tidak cukup untuk menggentarkan militer China.
Namun China sendiri belum berniat untuk melengkapi penguasaan ekonomi dengan kekuatan militer. China masih dalam proses untuk memperkuat perekonomian negara mereka dan menyejahterakan kehidupan rakyatnya.
Ketika ekonomi mereka semakin solid dan kehidupan rakyatnya semakin membaik, bukan tidak mungkin China akan juga memainkan kekuatan militernya. Kekuatan militer akan ditempatkan di wilayah-wilayah yang banyak kepentingan ekonomi mereka.
Sekarang ini perusahaan China mulai merambah dunia. Dengan kekuatan modalnya, China menancapkan kekuatan ekonominya. Kita lihat bagaimana Afrika sekarang ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan China. Mereka menggeser negara-negara Eropa yang selama ini menjajah negara-negara di Benua Hitam tersebut.
Kecepatan penguasaan ekonomi China membuat AS gentar. Mereka baru tersadar bahwa China mampu membangun kekuatan ekonomi yang begitu cepat. Secara de facto, China boleh dikatakan sudah menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia menggantikan AS.
Inilah yang membuat AS kemudian bergerak cepat untuk tetap menancapkan pengaruhnya. AS tidak mau sampai tergeser sebagai penguasa dunia. Mereka ingin tetap dianggap sebagai penguasa tunggal dan juga polisi dunia.
Kunjungan tidak sampai 24 jam ke Jakarta merupakan bagian untuk mendapat dukungan politik dari Indonesia. Menlu Hillary ingin menyampaikan pesan kepada China bahwa mereka masih dianggap sebagai penentu di dunia dan mereka ingin membuktikannya dalam penyelesaian ketegangan di Laut China Selatan.

Isu bilateral seperti pemberian pesawat F-16 maupun masalah Papua hanyalah sekadar pemanis. Hillary tidak sedang membawa pesan tentang peningkatan hubungan kedua negara, tetapi lebih mencari kawan untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar