ADEO VICTOR GRESSANDY
2014-050-193
HUKUM INTERNASIONAL
ASEAN
Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan
Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli
2012 yang lalu untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan
sengketa wilayah Laut China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas.
Penyelesaian ke tataran diplomasi masih belum menunjukkan titik terang.
Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negara-negara ASEAN.
Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama
kalinya dalam 45 tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu
menunjukkan betapa China sudah demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada
sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa.
Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan China–Filipina, Vietnam,
Malaysia, dan Brunei–merasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, keempat
negara itu berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif
China di wilayah sengketa.
Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh
justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China.
Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang
setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan tersebut.
Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal tudingan
itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN.
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak bisa menyembunyikan
kekecewaan yang mendalam terhadap kegagalan itu. “Kami membutuhkan waktu untuk
pulih,” ungkapnya seperti dikutip Wsj.com. “ASEAN harus belajar untuk mengonsolidasi
dan mengoordinasikan sikap jika ingin terlibat dalam komunitas global.”
Kekecewaan serupa ditunjukkan Menlu RI Marty Natalegawa. Dia bahkan
sempat mengatakan kegagalan itu sangat tidak bertanggung jawab setelah KTT
berakhir, Jumat (13/7/12). Namun, dia kemudian menyangkal telah terjadi
perpecahan di antara anggota.
Menurut Marty, pertemuan itu telah menginspirasinya untuk terus mendorong
pemberlakuan ASEAN Code of Conduct (CoC) mengenai sengketa Laut China Selatan.
“Ini akan membuat saya semakin bertekad untuk mendorong CoC sehingga semua
menjadi semakin kontekstual,” ungkapnya.
“Sekalipun ada insiden ini, kita harus tetap memiliki tujuan. Kita harus
terus maju dan bukan terpinggirkan oleh insiden ini,” tegas Marty.
Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki
cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter
kubik gas. Menurut kantor berita China Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga
cadangan gas dan minyak China.
Karena itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus
akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan.
Klaim China termasuk perairan yang berada di dekat negara-negara tetangga
mereka.
Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam
zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai.
Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan yang dikeluarkan
China sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu.
Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional,
terutama dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga
memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut.
Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim
wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu
karena bisa dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.
Kawasan laut china selatan yang kaya akan sumber
daya alam
Dipertanyakan
Pakar ASEAN dari University of New South Wales, Carlyle Thayer, menilai
kegagalan menghasilkan komunike membuat komitmen ASEAN patut dipertanyakan.
“ASEAN merupakan penjaga otonomi regional Asia Tenggara dengan menerapkan
perlindungan dari masuknya kekuatan-kekuatan besar. Namun (kegagalan) ini
menunjukkan China mencoba memecah perlindungan itu dan memengaruhi satu negara
tertentu. Ini akan memengaruhi setiap persolan yang mulai menyentuh negara
China,” jelas Thayer.
Ia mengatakan persoalan itu juga menunjukkan perpecahan di antara
negara-negara anggota ASEAN. Perpecahan tersebut antara negara-negara yang
bersengketa dengan China dan negara yang mengandalkan perdagangan dan ekonomi
dengan China. Meski secara tidak langsung menyebut satu negara, Kamboja
diketahui menerima ratusan juta dolar AS dari China dalam bentuk pinjaman lunak
dan investasi.
Para analis mengatakan kegagalan ASEAN menghasilkan komunike bersama
justru menguntungkan Beijing. “Negara-negara Asia Tenggara harus menghasilkan
sikap bersama,” ungkap Dan Blumenthal, Direktur Kajian Asia dari American
Enterprise Institute, sebuah lembaga kajian konservatif. “Sekali lagi mereka
mengalami kegagalan, itu merupakan kemenangan bagi China.”
Associate Professor Robert C Beckman, Direktur Centre for International
Law di National University, Singapura, menilai perselisihan di antara
negara-negara ASEAN mengenai komunike tersebut bakal mempercepat prospek
tercapainya kesepakatan mengenai code of conduct, sebab China merasa tidak
semua negara ASEAN menentang mereka.
“Yang menjadi persoalan utama ialah apakah ASEAN dapat mencapai konsensus
dan tetap bersatu dengan prinsip-prinsip mereka selama negosiasi dengan China,”
ungkapnya.
Kepulauan spratly, salah satu wilayah sengketa di
laut china selatan
Kemunduran AS
Menurut Blumenthal, untuk menghasilkan
komunike bersama, AS sebagai negara adidaya dan memiliki kepentingan sangat
besar di Laut China Selatan harus merangkul negara-negara yang selama ini dalam
pelukan China, seperti Kamboja.
Menurut dia, Kamboja memiliki hubungan sangat erat
dengan China yang gencar mengucurkan bantuan dana dan infrastruktur. “Jika
China membeli Kamboja, kita harus bekerja keras untuk bisa menghentikannya,”
ungkap Blumenthal.
Kegagalan ASEAN menghasilkan komunike bersama
tidak bisa dimungkiri merupakan kemunduran bagi AS dalam upaya mereka
meningkatkan pengaruh di kawasan Asia Pasifik dan menjadikan Asia Tenggara
sebagai benteng untuk membendung pengaruh China. Kegagalan itu terjadi di depan
mata AS sendiri, yang hadir dalam pertemuan dengan diwakili Menlu AS Hillary
Clinton.
“AS akan sangat kecewa ASEAN gagal mencapai
kesepakatan mengenai persoalan ini,” ungkap Ian Storey, analis senior di
Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.
“Namun, tentu saja mereka tidak bisa
mengungkapkan secara terang-terangan setelah berusaha keras mendesak semua
pihak untuk duduk bersama membahas persoalan itu,” ungkapnya.
Kepentingan AS di Laut China Selatan terkait
dengan kebebasan pelayaran di perairan seluas 1,2 juta mil persegi yang
menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Setiap tahun, nilai
perdagangan yang melintasi perairan tersebut mencapai US$5,3 triliun.
Dari jumlah itu, sekitar US$1,2 triliun
merupakan nilai perdagangan AS. Banyak pengalihan kapal kargo di wilayah
tersebut. Jika terjadi konflik di Laut China Selatan, itu akan menimbulkan
dampak ekonomi yang sangat besar.
Babak Baru Perang Laut China Selatan
Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat
negara ASEAN turut memperebutkan wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus sengketa adalah Kepulauan
Paracel dan Spratly.
Sejarah membuktikan, sengketa Laut China
Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di
Paracel, padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di
kepulauan itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara
Vietnam dan 18 tentara China.
Setelah perang itu, China menguasai Paracel.
Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel
sebagai bagian kota tersebut.
Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik
lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China
memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam.
Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini,
perselisihan antara Filipina, baik dengan China, Vietnam, maupun Malaysia,
tergolong minor.
Saling Klaim
Klaim wilayah, China memotong ZEE Indonesia
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar
teritori Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur
Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China mengklaim berhak berdasarkan
sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai
bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta
yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan
tersebut.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik
China, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan
alasan historis yang sama.
Vietnam jelas menentang klaim peta China
tersebut. Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di
kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan,
Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan
memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly
sejak abad ke-17.
Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly.
Yang kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari
pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat China.
Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut yang menetapkan zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil
laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal pengukuran lebar laut teritorial.
Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam
mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly.
Militer Malaysia telah menduduki tiga pulau
kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian
terselatan Spratly.
Sumber Daya Alam
Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut
China Selatan adalah kandungan gas alam dan minyak buminya. China menerbitkan
estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly mungkin mengandung 213
miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan para
peneliti Amerika Serikat.
Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi
Informasi Energi Amerika Serikat, Laut China Selatan memiliki sekitar 25
triliun meter kubik gas alam, sama besar dengan cadangan gas alam Qatar.
Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya.
Selain itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut China Selatan.
Lokasinya pun strategis untuk pos pertahanan militer.
Akhir Februari lalu Filipina mengundang
perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi melalui eksplorasi minyak bumi
di lepas pantai Laut China Selatan. Izin eksplorasi direncanakan diberikan
kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. China menyatakan
tindakan Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka.
Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam
sejarah sengketa Laut China Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh China masuk
tanpa izin ke wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi
minyak bumi lepas pantai di dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh China
mencoba membangun pertahanan militer di Spratly.
Vietnam juga pernah menuduh China mencoba
menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam. Tuduhan ini memicu protes
anti-China di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh. Sebaliknya, China menuduh
Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan menembak di salah satu
pesisirnya.
Campur Tangan Internasional
China berusaha bernegosiasi dengan
negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di Laut China Selatan. Namun
China cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian ditentang
pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional.
Salah satu hasil mediasi internasional adalah
Konvensi PBB tahun 1982 yang mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi.
Saat dipraktikkan, konvensi itu malah memicu salip-menyalip pengakuan
kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap klaim historis
China dan Vietnam atas Paracel dan Spratly.
Pada 4 November 2002, ASEAN dan China juga
mendeklarasikan kesepakatan kode etik, salah satunya menyelesaikan sengketa
tanpa ancaman atau penggunaan senjata.
Filipina dan Vietnam juga telah mempunyai
perjanjian bilateral dengan China, namun perjanjian itu hampir tidak
berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.
Selain keenam negara yang bersengketa, Amerika
Serikat juga punya kepentingan di laut tersebut. Kepentingan ini berhubungan
dengan fakta Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran lebih dari setengah
perdagangan dunia.
Ada pula kepentingan militer, sehingga tak
heran Amerika Serikat menempatkan pos militernya di sana. Walau menyatakan akan
bersikap netral, ternyata Paman Sam memberikan bantuan militer kepada sekutu
lamanya, Filipina.
Laut China Selatan bisa jadi akan perang.
Bulan lalu, China menyatakan telah memulai patroli laut yang siaga perang.
Tindakan ini untuk menentang sebuah hukum Vietnam yang mendeklarasikan
kedaulatan Vietnam atas Paracel dan Spratly.
Kepentingan Amerika Serikat di Laut China Selatan
Wilayah sengketa laut china selatan
Perjalanan 11 hari Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Hillary Rodham Clinton ke enam negara Asia menunjukkan kuatnya
keinginan AS mempertahankan dominasi mereka di Asia Pasifik. AS ingin
memperlihatkan dirinya sebagai penengah dalam penyelesaian ketegangan di Laut
China Selatan.
Isu Laut China Selatan menjadi tema
pembicaraan yang dibawa Hillary setiap kali mendarat di negara yang ia
kunjungi. AS seakan menjadi negara yang bijak untuk meminta negara-negara yang
bersengketa untuk tidak menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan
konflik wilayah di kawasan itu.
Ketegangan di Laut China Selatan meningkat
karena negara-negara di sekitar kawasan itu saling mengklaim wilayah mereka.
Kita melihat bagaimana ketegangan yang terjadi antara Filipina dan China, China
dan Jepang, China dan Vietnam, dan banyak lagi.
Kawasan Laut China Selatan bukan hanya
strategis dalam lalu lintas laut, tetapi juga kaya dengan sumber daya alam.
Itulah yang membuat semua negara saling mengklaim wilayah karena ada potensi
ekonomi yang luar biasa di kawasan itu.
Secara ekonomi dan militer memang China
dianggap sebagai negara yang paling superior dalam perebutan wilayah di Laut
China Selatan itu. Semua negara sungguh khawatir jika sampai persoalan itu
tidak bisa diselesaikan secara damai, maka China akan bisa mendominasi.
Bagi AS sendiri persoalannya bukan sekadar
China dikhawatirkan akan bisa menguasai wilayah tersebut. Yang lebih ditakutkan
AS akan pengaruh China yang akan semakin menguat dan secara perlahan akan
menggeser dominasi AS sebagai penguasa dunia.
Untuk itulah AS mencoba turut campur dalam
penyelesaian sengketa yang terjadi di kawasan Laut China Selatan. AS bukan
hanya ingin mengirimkan pesan bahwa mereka masih hadir di kawasan itu, tetapi
sekaligus menekan China agar tidak berbuat macam-macam.
Upaya untuk mengimbangi pengaruh China memang
menjadi strategi global AS. Langkah itu tidak hanya dilakukan melalui jalur
diplomasi, tetapi juga dengan menggunakan kekuatan militer. AS terus memperkuat
keberadaan militer mereka di kawasan Asia Pasifik.
Salah satu yang menjadi bagian dari strategi
global mereka adalah penempatan pasukan marinir di Darwin, Australia. Keberadaan
pasukan khusus Angkatan Laut AS di utara Australia bukan untuk mengancam
Indonesia, tetapi untuk memberikan pesan kepada China bahwa mereka masih
menguasai kawasan Asia Pasifik.
Hillary Rodham Clinton (Menlu AS)
Dengan krisis ekonomi yang dihadapi AS, memang
mereka tidak bisa serta merta membangun pangkalan militer di Asia Pasifik ini.
Keberadaan pasukan marinir AS di Darwin sangatlah minimal dan tidak cukup untuk
menggentarkan militer China.
Namun China sendiri belum berniat untuk
melengkapi penguasaan ekonomi dengan kekuatan militer. China masih dalam proses
untuk memperkuat perekonomian negara mereka dan menyejahterakan kehidupan
rakyatnya.
Ketika ekonomi mereka semakin solid dan
kehidupan rakyatnya semakin membaik, bukan tidak mungkin China akan juga
memainkan kekuatan militernya. Kekuatan militer akan ditempatkan di
wilayah-wilayah yang banyak kepentingan ekonomi mereka.
Sekarang ini perusahaan China mulai merambah
dunia. Dengan kekuatan modalnya, China menancapkan kekuatan ekonominya. Kita lihat
bagaimana Afrika sekarang ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan China.
Mereka menggeser negara-negara Eropa yang selama ini menjajah negara-negara di
Benua Hitam tersebut.
Kecepatan penguasaan ekonomi China membuat AS
gentar. Mereka baru tersadar bahwa China mampu membangun kekuatan ekonomi yang
begitu cepat. Secara de facto, China boleh dikatakan sudah menjadi kekuatan
ekonomi nomor satu di dunia menggantikan AS.
Inilah yang membuat AS kemudian bergerak cepat
untuk tetap menancapkan pengaruhnya. AS tidak mau sampai tergeser sebagai
penguasa dunia. Mereka ingin tetap dianggap sebagai penguasa tunggal dan juga
polisi dunia.
Kunjungan tidak sampai 24 jam ke Jakarta
merupakan bagian untuk mendapat dukungan politik dari Indonesia. Menlu Hillary
ingin menyampaikan pesan kepada China bahwa mereka masih dianggap sebagai
penentu di dunia dan mereka ingin membuktikannya dalam penyelesaian ketegangan
di Laut China Selatan.
Isu bilateral seperti pemberian pesawat F-16
maupun masalah Papua hanyalah sekadar pemanis. Hillary tidak sedang membawa
pesan tentang peningkatan hubungan kedua negara, tetapi lebih mencari kawan
untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.