Jumat, 18 Desember 2015

CONTOH KASUS PEMERKOSAAN BERSERTA PENYELESAIAN... SEMOGA BERMANFAAT

HUKUM KEDOKTERAN FORENSIK

·       ADEO VICTOR GRESSANDY 2014-050-193

Fakultas Hukum
Universitas Katolik Indonesia
ATMA JAYA



Jakarta 18-11-2015



Dugaan Perkosaan Menggunakan Obat

KASUS :
Dua orang tersangka dituduh memperkosa perempuan yang mereka undang ke apartemen mereka. Mereka mengklaim bahwa korban minum sehingga mabuk dan tidak sadarkan diri dalam rentang waktu 30 menit setelah kedatangannya, dimana dia berimajinasi telah diperkosa. Korban tersadar empat jam kemudian.
Korban bersaksi bahwa dia memang meminum dua bir dan satu skochi selama 2,5 jam. Setelah dia berhenti minum, dia merasakan pusing dan tidak sadarkan diri. Dia terjaga dan merasa sedang diperkosa, namun rasanya seperti mimpi dan dia tidak bisa berbicara atau bergerak.

PENYELESAIAN :
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara (Atmadja, 2009).
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum (Atmadja, 2009).
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya (Kuntawiaji, tt).

Untuk mengetahui apakah korban diperkosa, maka harus dilakukan pemeriksaan antara lain tanda kekerasan dan tanda persetubuhan.
1.  Tanda Kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan dsb (Atmadja, 2009).
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb (Atmadja, 2009). Untuk uji toksikologi untuk mengetahui apakah pada minuman korban diberikan obat penenang, maka dilakukan uji sebagai berikut (dimisalkan raped drug yang digunakan diazepam):
a.    Uji skrinning
Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan laboratorium sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan. Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika spesifik yang terkandung di dalam sampel (Wirasuta, 2008). Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atametabolitnya terdapat dalam darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat (BNN, 2008).
Alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji skrinning dan hanya memerlukan waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual adalah strip testStrip test merupakan teknik immunoassay dengan menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen dan antibodi (Sukasediati dan Matta, 1987).Hasil dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C (zona kontrol validitas) dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan + (positif) bila tampak satu garis pada huruf C (zona kontrol validitas) (Suwarso, 2002).
Pada kasus di atas, sampel darah korban di ambil kemudian diteteskan ke alat strip test, apabila strip test menunjukkan hasil positif bahwa pada darah korban mengandung obat golongan benzodiazepin (BZD) yang memiliki efek sedatif-hipnotika, maka selanjutnya dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan jenis zat narkotika dan psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.

b.    Uji konfirmasi
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan jenis zat narkotika psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut. Pemeriksaan dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan (screening test) memberi hasil positif (BNN, 2008).
Uji konfirmasi atau pemastian senyawa BZD dapat dilakukan dengan GC-MS (Gas Chromatography- Mass Spectra) atupun KLT-Spektrofotodensitometri.Kelebihan dari GC-MS, antara lain GC-MS sensitif karena mampu mendeteksi  kadar obat < 1µg/L dan membutuhkan waktu pengerjaan yang relatif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan derivatisasi sampel dan biaya operasional GC-MS relatif mahal. Kelebihan metode KLT-Spektrofotodensitometri adalah biaya operasional yang lebih murah dan tidak membutuhkan derivatisasi sampel sedangkan kelemahannya adalah limit deteksi yang besar (Peat, 1988). Sistem fase gerak yang digunakan adalah TAEA dan TD. Dari hasil uji konfirmasi ini akan diketahui jenis zat golongan benzodiazepin yang terdapat pada sampel, contohnya pada sampel darah diketahui positif mengandung diazepam. Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat diazepam, maka perlu dilakukan penetapan kadar.

c.    Penetapan kadar
Diazepam memiliki waktu paruh 20-40 jam, diekskresikan sebanyak 70% dalam bentuk utuh di urin. Diazepam diabsorbsi secara cepat dan menyeluruh setelah konsumsi oral dengan puncak kadar plasma dicapai dalam waktu 30-90 menit. Reaksi Metabolik adalah N demetilasi, 3 hidroksilasi dan konjugasi asam glukoronat. Metabolit aktif adalah desmetildiazepam serta oxazepam dan tenazepam. Ekskresi terutama dalam bentuk metabolitnya dalam urin. Ekskresinya lambat, 71 % dari dosis terdeteksi di urin, 10 % di feses. Diazepam dan N-desmetildiazepam tetap ada di dalam darah setelah pemberian dosis dalam waktu yang lama (BNN, 2008).
Penetapan kadar dilakukan untuk mengetahui kadar diazepam dalam darah. Penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri. Apabila analisis dilakukan 5 jam setelah kejadian dan hasil tes menunjukkan bahwa kadar diazepam dalam darah korban sebesar 0,44 mg/L (Cp), maka untuk mengetahui kadar diazepam dalam darah ketika kejadian, maka dilakukan perhitungan runut balik. Perhitungan runut balik dilakukan dengan bantuan waktu paruh farmakokinetik, yaitu dengan dengan asumsi waktu paruh diazepam 20 jam, maka : Apabila telah diketahui nilai k. Berdasarkan literatur, kadar diazepam yang menimbulkan efek dalam plasma adalah 0,1 sampai 1,0 mg/L (Moffat et al., 2005). Ini berarti pada minuman korban telah positif dicampur dengan diazepam dan pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat tersebut.
2.  Tanda Persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi (Atmadja, 2009).
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Usapan lidi kapas (swab vagina) diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina (Atmadja, 2009).
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree. Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom). Dengan adanya sperma ini, maka dapat diketahui DNA pelaku pemerkosaan (Atmadja, 2009).
DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan jenis asam nukleat yang menyimpan semua informasi genetika manusia (Putra, 2007). DNA merupakanblueprint segala aktivitas sel yang nanti diturunkan ke generasi berikutnya. Jadi secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA umumnya terletak di dalam inti sel. Sehingga DNA juga berperan dalam menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat khusus manusia. Jadi, seorang anak pasti memiliki ciri tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Hal ini disebabkan karena komposisi DNA-nya sama dengan sang orang tua. Struktur DNA terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk struktur double helix. Satu untai berasal dari ibu dan satu untai lagi dari ayah. Masing-masing untai terdiri atas rangka utama dan basa nitrogen yang menyatukan dengan untai DNA lain (Anonim, tt).
DNA fingerprinting adalah teknik untuk mengidentifikasi seseorang berdasarkan pada profil DNAnya. Ada 2 aspek DNA yang digunakan dalam DNA fingerprinting, yaitu di dalam satu individu terdapat DNA yang seragam dan variasi genetik terdapat diantara individuProsedur DNA fingerprinting memiliki kesamaan dengan mencocokkan sidik jari seseorang dengan orang lain. Hanya saja perbedanya adalah proses ini dilakukan tidak menggunakan sidik jari, tetapi menggunakan DNA individu karena secara individu DNA seseorang itu unik. Digunakan DNA karena DNA memiliki materi hereditas yang berfungsi untuk menentukan suatu urutan keturunan dalam suatu keluarga secara turun-menurun dengan pola yang acak (karena berasal dari fusi inti ovum dan sperma) sehingga dapat digunakan untuk identifikasi pelaku kejahatan walaupun telah berganti wajah (Anonim, tt).
Pemeriksaan DNA dalam bidang forensik pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain (Atmadja, 2009).
Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan teknik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh, jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama menyingkirkan tersangka sebagai pelaku (Atmadja, 2009).
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (metodePolymerase Chain Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing (Atmadja, 2009).
Pemecahan kasus pemerkosaan dapat dilakukan dengan menganalisa DNA yang terdapat pada sperma yang tertinggal dalam vagina korban. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang dan kuku (Putra, 2007).
Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan ChilexPhenolchloroform. Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi (Putra, 2007).
Primer amplifikasi tersebut kemudian digunakan untuk penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA sampel. Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprint (Putra, 2007).
Gel dengan DNA yang sudah terfraksinasi berdasarkan ukurannya diterapkan pada lembaran kertas nitrosellulosa sehingga DNA tersebut dapat melekat secara tetap pada lembaran tersebut. Lembaran ini disebut Southern blot.Untuk menganalisis suatu southern blot digunakan suatu probe genetik radioaktif  yang akan melakukan reaksi hibridisasi dengan DNA yang dipertanyakan. Jika suatu sinar-X dikenakan pada southern blot, setelah probe-radioaktif dibiarkan berikatan dengan DNA yang telah terdenaturasi pada kertas, hanya area di manaprobe radioaktif berikatan yang terlihat pada film. Keadaan ini yang memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi DNA seseorang dari kejadian dan frekwensi pemunculan pola genetik khusus yang terkandung pada probe (Subandi, 2001).
Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprintdengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan). Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau korban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis (Atmadja, 2009).



















ASPEK MEDIKOLEGAL PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK PD KASUS PERLUKAAN DAN KERACUNAN DI RS


PENDAHULUAN
Dalam rangka pelayanan pasien yang berobat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit, tidak dapat dihindari bahwa akan ada banyak kasus yang merupakan kasus perlukaan dan keracunan. Data yang ada di beberapa Rumah Sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan keracunan mencapai 50 % sampai 75 % dari kasus yang ditangani di IGD RS. Sebagian dari kasus ini ternyata merupakan kasus forensik klinik karena pada saat pasien datang berobat atau beberapa hari setelahnya penyidik ternyata mengirim surat Permintaan Visum et Repertum (VER) kepada RS.

Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, pada kasus-kasus semacam ini, setiap dokter yang kebetulan menangani kasus tersebut, dibebani KEWAJIBAN HUKUM untuk memeriksa pasien (atau korban, jika dilihat dari konteks hukum) dan membuat Visum et Repertum. Hal ini diatur dalam pasal 133(1) KUHAP yang menyatakan bahwa, “Penyidik dalam menangani kasus LUKA, KERACUNAN, atau MATI, yang diduga karena tindak pidana, dapat meminta bantuan DOKTER AHLI KEHAKIMAN, DOKTER atau ahli lainnya”. Kewajiban dokter untuk membantu penyidik sebagaimana dinyatakan pasal ini merupakan suatu kewajiban hukum, karena pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9 bulan, menurut pasal 224 KUHP.
Dalam konteks kasus perlukaan dan keracunan yang ditangani di RS, kewajiban memeriksa korban dan membuat VER merupakan kewajiban dari setiap dokter yang menangani pasien tersebut, termasuk dokter jaga IGD, dokter jaga poliklinik, dan dokter spesialis yang menangani perawatan pasien tersebut. Dalam hal pasien hanya menjalani rawat jalan, kewajiban ini ada pada dokter poliklinik atau dokter IGD yang menangani korban tersebut. Pada kasus pasien yang dirawat inap di RS, kewajiban tersebut merupakan kewajiban bersama dokter IGD dan dokter spesialis yang merawat pasien tersebut.

Pada kasus pidana semacam ini, setiap dokter yang menangani kasusnya, harus berperan ganda. Pertama, ia harus berperan sebagai dokter klinik (attending doctor) yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, lalu menegakkan diagnosis dan mengobati pasiennya. Kedua, ia harus juga, atas dasar hukum, berperan sebagai dokter “forensik” (assessing doctor), yang melakukan anamnesis, pemeriksaan forensik klinik (pencarian bukti tindak pidana) dan pemeriksaan penunjang, dan menyimpulkannya dalam bentuk VER.

Di RS, para dokter pada umumnya memfokuskan pelayanannya pada aspek klinik, untuk mengobati pasien dalam rangka penyembuhan, pengurangan rasa sakit dan kecacatan serta pencegahan kematian. Aspek pencarian bukti tindak pidana, walaupun diminta secara tegas dalam surat permintaan VER dari penyidik, pada umumnya dianggap sebagai hal sekunder. Hal ini terjadi bukan saja karena para dokter sudah banyak lupa akan ilmu kedokteran forensik (yang dipelajarinya ketika pendidikan S1 kedokteran), tetapi juga karena penyelamatan pasien merupakan tujuan utama setiap pelyanan di RS. Hal ini berdampak pada pemeriksaan forensik klinik yang kurang akurat, pencatatan rekam medis yang tidak lengkap dan kurang sesuai dengan kepentingan pembuatan VER. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa di beberapa RS, pembuatan VER (yang merupakan kewajiban dokter) diserahkan kepada petugas Rekam Medis RS. Dalam kondisi yang semacam itu, tidak dapat dipungkiri bahwa VER yang dihasilkan oleh RS pada umumnya bermutu rendah dan bahkan bermasalah, yang dapat berujung pada dipanggilnya dokter ke pengadilan untuk menerangkan lebih jauh mengenai isi VER yang ditandatanganinya tersebut.

Dengan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus perlukaan dan keracunan yang ditangani dokter akan semakin meningkat juga. Dengan demikian setiap dokter klinik harus membekali dirinya dengan kemampuan dasar-dasar ilmu kedokteran forensik klinik, yang mungkin belum pernah diajarkan pada saat ia menjalani pendidikan kedokteran. Hal yang harus dipelajari diantaranya adalah anamnesis, pemeriksaan fisik luka dan keracunan, pencatatan dalam rekam medis, penentuan derajat perlukaan dan tehnis pembuatan VER. Makalah ini akan membahas berbagai aspek medikolegal pemeriksaan forensik klinik pada kasus tindak pidana berupa perlukaan dan keracunan, sehingga dapat dihasilkan VER korban hidup yang bermutu dan tidak “memberi masalah” pada dokter yang membuatnya. Berdasarkan pembahasan ini, RS dapat menjadikannya dasar untuk penyempurnaan Standard Operation Procedure (SOP) tatalaksana Visum et Repertum korban hidup di RS, yang merupakan salah satu komponen dari hospital by laws, yang juga merupakan salah satu point penilaian dalam akreditasi RS. 

PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK
Pemeriksaan terhadap pasien yang merupakan korban tindak pidana menyebabkan dokter harus berperan ganda sebagai dokter klinik dan juga sebagai dokter “forensik”. Sebagai dokter klinik (attending doctor), dokter mengikat perjanjian perdata dengan pasien (kontrak terapetik) dalam rangka pengobatan terhadap penyakit pasien. Dalam hubungan ini dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, lalu menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan dan meramalkan prognisis penyakit pasien. Hubungan dokter pasien ini mensyaratkan dijaganya rahasia kedokteran secara ketat. Dengan adanya SPV maka dokter yang menangani pasien yang merupakan korban tindak pidana harus berperan sebagai dokter ”forensik”. Sebagai dokter “forensik”, dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, serta mengumpulkan berbagai bukti tindak pidana dan melaporkan hasilnya dalam bentuk VER ke penyidik.

Bagi kebanyakan dokter klinik, peran sebagai dokter “forensik’ merupakan beban karena:
Memeriksa dan mengobati pasien merupakan tugas utama seorang dokter. sehingga adanya tugas tambahan sebagai dokter “forensik” membuat dokter terpaksa harus mengurangi perhatiannya dari tugas utamanya sebagai dokter klinik
Perasaan kurang kompeten, karena pembekalan mengenai ilmu kedokteran forensik klinik umumnya amat minim dan hanya diterima pada saat kuliah S1
Membuat VER, dan menghadiri sidang pengadilan jika dipanggil untuk memberikan keterangan ahli, meruipakan hal yang tidak disukai dokter klinik karena merepotkan dan membuang-buang waktu
Adanya perasaan tidak nyaman saat berhubungan dengan pengacara, polisi, jaksa serta hakim dalam rangka penanganan kasus tersebut
Kewajiban ini bukan merupakan sumber penghasilan.

Pemeriksaan forensik klinik pada dasarnya tidak hanya dilaksanakan di IGD saja, tetapi juga di ruang perawatan, serta saat pasien kontrol di poliklinik. Pemeriksaan baru dianggap selesai jika dokter telah dapat mengetahui derajat luka, yaitu pada saat hasil pengobatan dan prognosis telah dapat ditentukan. Semua dokter yang terlibat dalam pemeriksaan terhadap pasien ini merupakan orang yang harus menandatangani VER. Kenyataan yang terjadi di banyak RS saat ini, hanya dokter IGD saja yang dibebani tanggung jawab sebagai dokter yang menandatangani VER. Hal ini kurang tepat, karena dokter IGD tidak dapat dimintai tanggungjawabnya atas berbagai hasil pemeriksaan yang tidak diperiksanya sendiri, yaitu mengenai data –data saat pasien menjalani rawat inap dibawah penanganan dokter lain.. Pada kasus semacam ini seharusnya yang menandatangani VER adalah dokter IGD dan dokter yang merawat pasien tersebut secara bersama-sama.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa RS mulai memanfaatkan Dokter Konsultan Forensik Klinik (DKFK) dalam penatalaksanaan pemeriksaan forensik klinik di RS. Manfaat adanya DKFK dalam pelayanan kesehatan di RS adalah:
1. Penambahan pelayanan spesialistik di RS: Hal ini penting untuk memberikan nilai tambah dalam akreditas RS
2. DKFK mengambil beban dokter klinik, sehingga dokter klinik dapat memberikan pelayanan klinik yang lebih baik
3. Mutu VER lebih baik, sehingga mengurangi kemungkinan adanya permasalahan hukum yang berkaitan pelayanan forensik klinik
4. DKFK dapat membantu perbaikan SOP yang berkaitan dengan prosedur medikolegal
5. Proteksi RS dari permasalahan medikolegal
6. Sumber pemasukan RS

Bentuk keterlibatan seorang DKFK dalam penanganan kasus forensik klinik di RS ada dalam dua bentuk:

Dokter konsultan forensik klinik (DKFK) yang berperan secara penuh:
Pada kasus seperti tersebut diatas, setelah dokter IGD mendapati bahwa kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana, maka konsultan forensik klinik dipanggil, dan melakukan pemeriksaan terhadap pasien bersama dokter kliniknya. Selanjutnya DKFK akan memantau perkembangan kasusnya, dengan memeriksa pasien di ruang perawatan (jika pasien dirawat inap) atau pada saat kontrol di poliklinik (jika pasien rawat jalan). Pemeriksaan forensik klinik oleh DKFK dalam masa rawat inap biasanya dilakukan minimal 2 kali, yaitu pada saat masuk ke ruang perawatan (untuk pencatatan awal perlukaan ) dan pada saat menjelang pasien dipulangkan. Jika pengobatan telah selesai dan derajat luka telah ditentukan, maka DKFK membuat VER dan menandatanganinya sendiri. Jika ada panggilan untuk memberikan keterangan ahli di Pengadilan, DKFK datang sendiri ke Pengadilan untuk memberikan keterangan ahli. Model semacam ini memindahkan beban sepenuhnya dari dokter klinik ke DKFK, dan membuat VER menjadi lebih bernilai secara hukum.

Dokter konsultan forensik klinik yang berperan parsial:
Pada model ini DKFK membuat alur dan tata cara tatalaksana pemeriksaan dan penanganan forensic klinik atas pasien yang merupakan korban tindak pidana. Pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan medis dilakukan oleh dokter kllinik atas dasar SOP tersebut. Dalam pelaksanaan pemeriksaan dokter klinik bebas berkonsultasi dengan dokter konsultan forensik klinik. Setelah pemeriksaan dan pengobatan selesai dan derajat luka dapat ditentukan, maka semua berkas Rekam Medik dan SPV diserahkan oleh bagaian Rekam Medik ke DKFK untuk dibuatkan konsep VERnya. Berdasarkan konsep VER tersebut bagaian Rkam Medik mengetik VER, meminta tandatangan dari semua dokter yang memeriksa dan merawat korban, dan juga meminta tandatangan dari DKFK sebagai countersign (mengetahui) di sudut kiri bawah. Dalam hal ada pemanggilan untuk memberikan keterangan ahli, dokter pemeriksa harus hadir ke Pengadilan, dengan ditemani oleh DKFK. Model semacam ini memindahkan sebagian beban dari dokter klinik ke DKFK, membuat VER yang formatnya lebih baik dan lebih mudah diterima oleh kalangan hukum. 


PEMERIKSAAN BARANG BUKTI
Pada saat dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan perlukaan ada kemungkinan diperoleh barang bukti yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, seperti anak peluru, serpihan misil, senjata yang tertancap pada tulang dsb. Berbagai benda tersebut dapat diperoleh di IGD pada saat pemeriksaan, tetapi dapat juga diperoleh pada saat operasi. di ruang OK.

Barang bukti tersebut harus disimpan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara forensik dan dibuatkan berita acara pemeriksaan barang bukti. Barang bukti ini sebaiknya baru diserahkan kepada penyidik apabila telah dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Setelah diperiksa, barang bukti tersebut dibungkus, dan dimasukkan ke dalam amplop, disegel, diberi label dan dilak dengan diberi cap. Selanjutnya dibuat berita acara pembungkusan dan penyegelan serta berita acara serah terima barang bukti. Barang tersebut diserahkan kepada petugas kepolisian yang meminta VER, dengan meminta tanda tangan petugas pada berita acara serah terima bartang bukti. Kepada penyidik yang sama diberikan satu kopi berita acara pemeriksaan, pembungkusan dan penyegelan barang bukti yang telah dibuat dan ditandatangani oleh dokter. Dalam hal RS tersebut telah mempunyai DKFK, maka penanganan barang bukti ini menjadi tugas dari konsultan tersebut. 


PEMBUATAN VER
Pada beberapa RS, beban pembuatan konsep VER dilakukan oleh petugas Rekam Medik. Hal ini merupakan hal yang kurang tepat, karena kewajiban dan kewenangan membuat VER ada pada dokter yang memeriksa dan merawat pasien. Dokter adalah orang yang paling mengetahui mengenai perlukaan yang terjadi pada pasien, sehingga paling mengetahui mengenai mengetahui mengenai derajat luka yang terjadi. Penentuan derajat luka merupakan tanggung jawab dokter yang paling utama karena atas dasar kesimpulan itulah berat ringannya tindak pidana yang telah diperbuat tersangka dapat ditentukan.
Pada beberapa RS lainnya, pembuatan VER dibebankan kepada dokter IGD yang pertama kali menangani korban. Hal ini juga kurang tepat, karena dokter IGD sesungguhnya hanya mengetahui mengenai jenis luka dan kekerasan pada kasus tersebut, tetapi dia tidak mengatahui mengenai seberapa parah kelainan yang terjadi pada pasien, khususnya setelah dilakukan berbagai pengobatan oleh dokter yang merawat pasien lebih lanjut.

Setelah selesai pengobatan dan derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter ruang membantu membuatkan resume kasus. Berdasarkan resume tersebut dokter IGD dan dokter yang merawat pasien merancang konsep VER dan membuat kesimpulan yang mereka anggap paling tepat. Berkas ini kemudian diserahkan ke bagian TU Visum untuk dibuatkan VERnya. Setelah VER selesai semua dokter yang memeriksa pasien membubuhkan tandatangannya. Bersama VER ini, bagian TU Visum juga membuatkan surat pengantar untuk VER yang ditujukan ke kepolisian peminta VER yang ditandatangani oleh direktur RS. 

VER SEMENTARA
Ada kemungkinan penyidik datang ke RS dan meminta agar dokter segera membuat VER, padahal ketika itu pasien masih menjalani pengobatan. Tujuan permintaan VER yang lebih dini tersebut biasanya untuk bahan laporan ke atasan penyidik dalam rangka pengembangan kasus, atau untuk dijadikan dasar penangkapan dan penahanan tersangka atau untuk kepentingan lainnya. Pada keadaan ini, dokter sebaiknya mengabulkan dan membuat VER sementara. VER sementara adalah VER yabg dibuat pada saat derajat luka yang pasti belum dapat ditentukan. VER sementara ini bentuknya sama persis dengan VER pada umumnya, akan tetapi mengandung kata (sementara) dibawah kata VISUM ET REPERTUM, dan kesimpulannya hanya memuat mengenai jenis luka dan kekerasan penyebabnya, serta temuan lain yang ditemukan, tanpa menyebutkan derajat luka. Setelah pasien selesai menjalani pengobatan dan derajat lukanya sudah dapat ditentukan, maka dibuat VER lanjutan. Pada VER ini dilaporkan semua temuan dari awal sampai akhir, dan dibuatkan kesimpulan secara keseluruhan termasuk derajat lukanya.

Pada kasus tertentu bisa saja terjadi bahwa pembuat VER sementara dan VER lanjutan adalah dokter dari dua instansi yang berbeda. Sebagai contoh, seorang korban tindak pidana karena kegawatannya berobat ke klinik A, lalu setelah menjalani pengobatan gawat daruratnya dia melapor ke polisi. Penyidik lalu membawa korban ke RS B dan meminta visum dari RS B. Pada kasus ini VER sementara (berisikan data luka dan jenis kekerasan) merupakan kewajiban dokter di klinik A, sedangkan VER lanjutannya (berisi derajat luka) merupakan kewajiban dokter dari RS B. Dengan demikian, penyidik harus membuat satu lagi SPV yang ditujukan ke klinik A berisi permintaan VER sementara.

Pada keadaan lainnya bisa saja terjadi seorang datang berobat ke RS B setelah mengalami tindak pidana. Penyidik yang menangani kasus ini menyerahkan SPV ke RS B. Setelah menjalani pengobatan di ruang IGD, pasien minta agar ia dirujuk ke RS C yang lokasinya lebih dekat ke rumahnya. Pada kasus ini RS B hanya punya kewajiban membuat VER sementaranya sedangkan VER lanjutannya menjadi beban RS C. 



KAPAN VER HARUS SELESAI ?
Salah satu hal yang sering ditanyakan adalah kapan suatu VER harus diselesaikan terhitung dari sejak pengobatan pasien selesai. Pada umumnya VER baru mulai dikonsep dan diketik kalau penyidiknya meminta atau menagih VER yang permah dimintanya. Tenggang waktu antara penagihan tersebut sampai selesainya VER biasanya berkisar antara beberapa hari sampai satu atau dua minggu.
Pada beberapa RS yang sistemnya sudah lebih baik, VER segera dibuat setelah pengobatan pasien selesai, tanpa menunggu tagihan VER dari penyidik. Setelah selesai VER segera diserahkan ke penyidik bersama barang bukti lainnya. Cara ini lebih bagus karena menunjukkan tertib administrasi yang baik dan mencegah penumpukan VER di dalam RS. Pada prinsipnya kapanpun penyidik menganggap perlu, dia boleh meminta VER kepada RS. Jika pada saat itu pengobatan sudah selesai atau pengobatan belum selesai tetapi derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter sebaiknya segera membuatkan VERnya. Sebaliknya, jika pada saat itu derajat luka belum dapat ditentukan maka dokter cuklup membuatkan VER sementara saja. VER lanjutannya baru dibuat setelah pengoabatan selesai dan derajat luka telah dapat ditentukan.
Meskipun demikian, karena dalam KUHAP diatur bahwa penahanan mempunyai
batasan 20 hari, kadang penyidik mendesak dokter untuk menyerahkan VER dalam tenggang waktu 20 hari sejak penahanan. Dalam hal ini, jika tidak ada halangan dokter sebaiknya membuatkan VER dalam waktu 20 hari. 

PENUTUP
Setiap RS dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatannya tidak terlepas dari kemungkinannya menangani kasus perlukaan dan keracunan. Pada kasus-kasus semacam ini dokter harus melakukan pemeriksaan secara lebih teliti dan lengkap karena kebanyakan dari kasus ini ternyata merupakan kasus tindak pidana. Dalam hal penyidik kemudian mengirimkan surat Permintaan Visum et Repertum, maka semua dokter yang memeriksa dan mengobati pasien ini punya kewajiban hukum untuk membuat VER dan memberikan keterangan ahli di Pengadilan. Pada beberapa RS yang telah memiliki Dokter Konsultan Forensik Klinik, beban pembuatan VER, pemeriksaan barang bukti, dan pemberian keterangan ahli di Pengadilan dialihkan dari dokter klinik ke konsultan. Hal ini memberikan dampak pula pada dihasilkannya VER yang lebih bermutu dan bernilai secara hukum, mencegah kemungkinan adanya permasalahan sehubungan dengan VER.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar