HUKUM KEDOKTERAN FORENSIK
· ADEO VICTOR GRESSANDY 2014-050-193
Fakultas Hukum
Universitas
Katolik Indonesia
ATMA JAYA
Jakarta 18-11-2015
Dugaan Perkosaan
Menggunakan Obat
KASUS :
Dua orang tersangka dituduh memperkosa perempuan yang
mereka undang ke apartemen mereka. Mereka mengklaim bahwa korban minum sehingga
mabuk dan tidak sadarkan diri dalam rentang waktu 30 menit setelah
kedatangannya, dimana dia berimajinasi telah diperkosa. Korban tersadar empat
jam kemudian.
Korban bersaksi bahwa dia memang meminum dua bir dan satu
skochi selama 2,5 jam. Setelah dia berhenti minum, dia merasakan pusing dan
tidak sadarkan diri. Dia terjaga dan merasa sedang diperkosa, namun rasanya
seperti mimpi dan dia tidak bisa berbicara atau bergerak.
PENYELESAIAN :
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk
dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan
atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini
adalah 12 tahun penjara (Atmadja, 2009).
Mengungkap
suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian
tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak
pidana yang terjadi. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik
memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini
merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat
menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana
perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum
et repertum (Atmadja, 2009).
Visum et
Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati,
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum
mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan
tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang
sebaik-baiknya (Kuntawiaji, tt).
Untuk
mengetahui apakah korban diperkosa, maka harus dilakukan pemeriksaan antara
lain tanda kekerasan dan tanda persetubuhan.
1. Tanda Kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah
kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada
hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka
lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan
paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat
pencekalan dsb (Atmadja, 2009).
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan
yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula
dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja
dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah
obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb
(Atmadja, 2009). Untuk uji toksikologi untuk mengetahui apakah pada minuman
korban diberikan obat penenang, maka dilakukan uji sebagai berikut
(dimisalkan raped drug yang digunakan diazepam):
a. Uji skrinning
Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan laboratorium
sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang
menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Dalam deteksi
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining dilakukan untuk
menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan. Hasil
dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan bukan
merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan
psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan
psikotropika spesifik yang terkandung di dalam sampel (Wirasuta, 2008).
Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atametabolitnya terdapat dalam
darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat (BNN, 2008).
Alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji skrinning
dan hanya memerlukan waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual adalah strip
test. Strip test merupakan teknik immunoassay dengan
menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen dan antibodi (Sukasediati dan
Matta, 1987).Hasil dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C
(zona kontrol validitas) dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan +
(positif) bila tampak satu garis pada huruf C (zona kontrol
validitas) (Suwarso, 2002).
Pada kasus di atas, sampel darah korban di ambil kemudian
diteteskan ke alat strip test, apabila strip test menunjukkan
hasil positif bahwa pada darah korban mengandung obat golongan benzodiazepin
(BZD) yang memiliki efek sedatif-hipnotika, maka selanjutnya dilakukan uji
konfirmasi untuk memastikan jenis zat narkotika dan psikotropika yang
terkandung di dalam sampel tersebut.
b. Uji konfirmasi
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan
yang lebih akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan
jenis zat narkotika psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.
Pemeriksaan dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan (screening test)
memberi hasil positif (BNN, 2008).
Uji konfirmasi atau pemastian senyawa BZD dapat dilakukan
dengan GC-MS (Gas Chromatography- Mass Spectra) atupun
KLT-Spektrofotodensitometri.Kelebihan dari GC-MS, antara lain GC-MS
sensitif karena mampu mendeteksi kadar obat < 1µg/L dan membutuhkan
waktu pengerjaan yang relatif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan
derivatisasi sampel dan biaya operasional GC-MS relatif mahal. Kelebihan metode
KLT-Spektrofotodensitometri adalah biaya operasional yang lebih murah dan tidak
membutuhkan derivatisasi sampel sedangkan kelemahannya adalah limit deteksi
yang besar (Peat, 1988). Sistem fase gerak yang digunakan adalah TAEA dan
TD. Dari hasil uji konfirmasi ini akan diketahui jenis zat golongan
benzodiazepin yang terdapat pada sampel, contohnya pada sampel darah diketahui
positif mengandung diazepam. Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban
berada di bawah pengaruh obat diazepam, maka perlu dilakukan penetapan kadar.
c. Penetapan kadar
Diazepam memiliki waktu paruh 20-40 jam, diekskresikan
sebanyak 70% dalam bentuk utuh di urin. Diazepam diabsorbsi secara cepat dan
menyeluruh setelah konsumsi oral dengan puncak kadar plasma dicapai dalam waktu
30-90 menit. Reaksi Metabolik adalah N demetilasi, 3 hidroksilasi dan konjugasi
asam glukoronat. Metabolit aktif adalah desmetildiazepam serta oxazepam dan
tenazepam. Ekskresi terutama dalam bentuk metabolitnya dalam urin. Ekskresinya
lambat, 71 % dari dosis terdeteksi di urin, 10 % di feses. Diazepam dan
N-desmetildiazepam tetap ada di dalam darah setelah pemberian dosis dalam waktu
yang lama (BNN, 2008).
Penetapan kadar dilakukan untuk mengetahui kadar diazepam
dalam darah. Penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri.
Apabila analisis dilakukan 5 jam setelah kejadian dan hasil tes menunjukkan
bahwa kadar diazepam dalam darah korban sebesar 0,44 mg/L (Cp), maka untuk
mengetahui kadar diazepam dalam darah ketika kejadian, maka dilakukan
perhitungan runut balik. Perhitungan runut balik dilakukan dengan bantuan waktu
paruh farmakokinetik, yaitu dengan dengan asumsi waktu paruh diazepam 20 jam,
maka : Apabila telah diketahui nilai k. Berdasarkan literatur, kadar diazepam
yang menimbulkan efek dalam plasma adalah 0,1 sampai 1,0 mg/L (Moffat et
al., 2005). Ini berarti pada minuman korban telah positif dicampur dengan
diazepam dan pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat tersebut.
2. Tanda Persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam
tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi biasanya hanya jelas
ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau
nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya
robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet,
memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi (Atmadja, 2009).
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada
persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan
bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada
tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Usapan lidi kapas (swab vagina)
diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang menunjukkan
adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan cara
digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina
(Atmadja, 2009).
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab
dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau
dengan pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green
atau christmas tree. Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian
dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel
sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda
pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel
sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya
saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang
kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom). Dengan adanya sperma ini, maka
dapat diketahui DNA pelaku pemerkosaan (Atmadja, 2009).
DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan jenis asam
nukleat yang menyimpan semua informasi genetika manusia (Putra, 2007). DNA
merupakanblueprint segala aktivitas sel yang nanti diturunkan ke
generasi berikutnya. Jadi secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel
adalah sebagai materi genetik. DNA umumnya terletak di dalam inti sel. Sehingga
DNA juga berperan dalam menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat
khusus manusia. Jadi, seorang anak pasti memiliki ciri tidak jauh berbeda
dengan orang tuanya. Hal ini disebabkan karena komposisi DNA-nya sama dengan
sang orang tua. Struktur DNA terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk
struktur double helix. Satu untai berasal dari ibu dan satu untai
lagi dari ayah. Masing-masing untai terdiri atas rangka utama dan basa nitrogen
yang menyatukan dengan untai DNA lain (Anonim, tt).
DNA fingerprinting adalah teknik untuk
mengidentifikasi seseorang berdasarkan pada profil DNAnya. Ada 2 aspek DNA yang
digunakan dalam DNA fingerprinting, yaitu di dalam satu
individu terdapat DNA yang seragam dan variasi genetik terdapat diantara
individu. Prosedur DNA fingerprinting memiliki kesamaan dengan
mencocokkan sidik jari seseorang dengan orang lain. Hanya saja perbedanya
adalah proses ini dilakukan tidak menggunakan sidik jari, tetapi menggunakan
DNA individu karena secara individu DNA seseorang itu unik. Digunakan DNA
karena DNA memiliki materi hereditas yang berfungsi untuk menentukan suatu
urutan keturunan dalam suatu keluarga secara turun-menurun dengan pola yang
acak (karena berasal dari fusi inti ovum dan sperma) sehingga dapat digunakan
untuk identifikasi pelaku kejahatan walaupun telah berganti wajah (Anonim, tt).
Pemeriksaan DNA dalam bidang forensik pertama
kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita
DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus
sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat
divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang
mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata
pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki
pita yang sama persis dengan orang lain (Atmadja, 2009).
Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah
ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus
probe). Berbeda dengan teknik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita,
disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus
perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat
perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu.
Sebagai contoh, jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka
sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat
keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan pemeriksaan beberapa lokus
sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka menunjukkan bahwa tersangka
itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama menyingkirkan tersangka
sebagai pelaku (Atmadja, 2009).
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik
(metodePolymerase Chain Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus,
membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan metode ini bahan
sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena DNAnya dapat
diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang dinamakan
mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga banyak
dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini
analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan
berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan
pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing (Atmadja, 2009).
Pemecahan kasus pemerkosaan dapat dilakukan dengan
menganalisa DNA yang terdapat pada sperma yang tertinggal dalam vagina korban.
Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah
kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di
TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada
akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan
rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria
sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang
dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging,
tulang dan kuku (Putra, 2007).
Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan
kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh
tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang
digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform. Tahapan
selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar
penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi
(pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur
ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik
DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi (Putra, 2007).
Primer amplifikasi tersebut kemudian digunakan untuk
penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya
berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA sampel.
Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk
melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan
lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita
inilah yang dimaksud DNA fingerprint (Putra, 2007).
Gel dengan
DNA yang sudah terfraksinasi berdasarkan ukurannya diterapkan pada lembaran
kertas nitrosellulosa sehingga DNA tersebut dapat melekat secara tetap pada
lembaran tersebut. Lembaran ini disebut Southern blot.Untuk menganalisis suatu southern
blot digunakan suatu probe genetik radioaktif
yang akan melakukan reaksi hibridisasi dengan DNA yang dipertanyakan. Jika
suatu sinar-X dikenakan pada southern blot, setelah probe-radioaktif
dibiarkan berikatan dengan DNA yang telah terdenaturasi pada kertas, hanya area
di manaprobe radioaktif berikatan yang terlihat pada film. Keadaan
ini yang memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi DNA seseorang dari kejadian
dan frekwensi pemunculan pola genetik khusus yang terkandung pada probe (Subandi,
2001).
Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe
DNA fingerprintdengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku
kejahatan). Pada
kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau korban yang
ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah
yang menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma
pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis
DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin
terjadi adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si
tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis (Atmadja,
2009).
ASPEK
MEDIKOLEGAL PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK PD KASUS PERLUKAAN DAN KERACUNAN DI RS
PENDAHULUAN
Dalam rangka
pelayanan pasien yang berobat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit,
tidak dapat dihindari bahwa akan ada banyak kasus yang merupakan kasus
perlukaan dan keracunan. Data yang ada di beberapa Rumah Sakit menunjukkan
bahwa jumlah kasus perlukaan keracunan mencapai 50 % sampai 75 % dari kasus
yang ditangani di IGD RS. Sebagian dari kasus ini ternyata merupakan kasus
forensik klinik karena pada saat pasien datang berobat atau beberapa hari
setelahnya penyidik ternyata mengirim surat Permintaan Visum et Repertum (VER)
kepada RS.Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, pada kasus-kasus semacam ini, setiap dokter yang kebetulan menangani kasus tersebut, dibebani KEWAJIBAN HUKUM untuk memeriksa pasien (atau korban, jika dilihat dari konteks hukum) dan membuat Visum et Repertum. Hal ini diatur dalam pasal 133(1) KUHAP yang menyatakan bahwa, “Penyidik dalam menangani kasus LUKA, KERACUNAN, atau MATI, yang diduga karena tindak pidana, dapat meminta bantuan DOKTER AHLI KEHAKIMAN, DOKTER atau ahli lainnya”. Kewajiban dokter untuk membantu penyidik sebagaimana dinyatakan pasal ini merupakan suatu kewajiban hukum, karena pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9 bulan, menurut pasal 224 KUHP.
Dalam konteks kasus perlukaan dan keracunan yang ditangani di RS, kewajiban memeriksa korban dan membuat VER merupakan kewajiban dari setiap dokter yang menangani pasien tersebut, termasuk dokter jaga IGD, dokter jaga poliklinik, dan dokter spesialis yang menangani perawatan pasien tersebut. Dalam hal pasien hanya menjalani rawat jalan, kewajiban ini ada pada dokter poliklinik atau dokter IGD yang menangani korban tersebut. Pada kasus pasien yang dirawat inap di RS, kewajiban tersebut merupakan kewajiban bersama dokter IGD dan dokter spesialis yang merawat pasien tersebut.
Pada kasus pidana semacam ini, setiap dokter yang menangani kasusnya, harus berperan ganda. Pertama, ia harus berperan sebagai dokter klinik (attending doctor) yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, lalu menegakkan diagnosis dan mengobati pasiennya. Kedua, ia harus juga, atas dasar hukum, berperan sebagai dokter “forensik” (assessing doctor), yang melakukan anamnesis, pemeriksaan forensik klinik (pencarian bukti tindak pidana) dan pemeriksaan penunjang, dan menyimpulkannya dalam bentuk VER.
Di RS, para dokter pada umumnya memfokuskan pelayanannya pada aspek klinik, untuk mengobati pasien dalam rangka penyembuhan, pengurangan rasa sakit dan kecacatan serta pencegahan kematian. Aspek pencarian bukti tindak pidana, walaupun diminta secara tegas dalam surat permintaan VER dari penyidik, pada umumnya dianggap sebagai hal sekunder. Hal ini terjadi bukan saja karena para dokter sudah banyak lupa akan ilmu kedokteran forensik (yang dipelajarinya ketika pendidikan S1 kedokteran), tetapi juga karena penyelamatan pasien merupakan tujuan utama setiap pelyanan di RS. Hal ini berdampak pada pemeriksaan forensik klinik yang kurang akurat, pencatatan rekam medis yang tidak lengkap dan kurang sesuai dengan kepentingan pembuatan VER. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa di beberapa RS, pembuatan VER (yang merupakan kewajiban dokter) diserahkan kepada petugas Rekam Medis RS. Dalam kondisi yang semacam itu, tidak dapat dipungkiri bahwa VER yang dihasilkan oleh RS pada umumnya bermutu rendah dan bahkan bermasalah, yang dapat berujung pada dipanggilnya dokter ke pengadilan untuk menerangkan lebih jauh mengenai isi VER yang ditandatanganinya tersebut.
Dengan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus perlukaan dan keracunan yang ditangani dokter akan semakin meningkat juga. Dengan demikian setiap dokter klinik harus membekali dirinya dengan kemampuan dasar-dasar ilmu kedokteran forensik klinik, yang mungkin belum pernah diajarkan pada saat ia menjalani pendidikan kedokteran. Hal yang harus dipelajari diantaranya adalah anamnesis, pemeriksaan fisik luka dan keracunan, pencatatan dalam rekam medis, penentuan derajat perlukaan dan tehnis pembuatan VER. Makalah ini akan membahas berbagai aspek medikolegal pemeriksaan forensik klinik pada kasus tindak pidana berupa perlukaan dan keracunan, sehingga dapat dihasilkan VER korban hidup yang bermutu dan tidak “memberi masalah” pada dokter yang membuatnya. Berdasarkan pembahasan ini, RS dapat menjadikannya dasar untuk penyempurnaan Standard Operation Procedure (SOP) tatalaksana Visum et Repertum korban hidup di RS, yang merupakan salah satu komponen dari hospital by laws, yang juga merupakan salah satu point penilaian dalam akreditasi RS.
PEMERIKSAAN
FORENSIK KLINIK
Pemeriksaan
terhadap pasien yang merupakan korban tindak pidana menyebabkan dokter harus
berperan ganda sebagai dokter klinik dan juga sebagai dokter “forensik”.
Sebagai dokter klinik (attending doctor), dokter mengikat perjanjian perdata
dengan pasien (kontrak terapetik) dalam rangka pengobatan terhadap penyakit
pasien. Dalam hubungan ini dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, lalu menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan dan
meramalkan prognisis penyakit pasien. Hubungan dokter pasien ini mensyaratkan
dijaganya rahasia kedokteran secara ketat. Dengan adanya SPV maka dokter yang
menangani pasien yang merupakan korban tindak pidana harus berperan sebagai
dokter ”forensik”. Sebagai dokter “forensik”, dokter melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, serta mengumpulkan berbagai bukti
tindak pidana dan melaporkan hasilnya dalam bentuk VER ke penyidik.Bagi kebanyakan dokter klinik, peran sebagai dokter “forensik’ merupakan beban karena:
Memeriksa dan mengobati pasien merupakan tugas utama seorang dokter. sehingga adanya tugas tambahan sebagai dokter “forensik” membuat dokter terpaksa harus mengurangi perhatiannya dari tugas utamanya sebagai dokter klinik
Perasaan kurang kompeten, karena pembekalan mengenai ilmu kedokteran forensik klinik umumnya amat minim dan hanya diterima pada saat kuliah S1
Membuat VER, dan menghadiri sidang pengadilan jika dipanggil untuk memberikan keterangan ahli, meruipakan hal yang tidak disukai dokter klinik karena merepotkan dan membuang-buang waktu
Adanya perasaan tidak nyaman saat berhubungan dengan pengacara, polisi, jaksa serta hakim dalam rangka penanganan kasus tersebut
Kewajiban ini bukan merupakan sumber penghasilan.
Pemeriksaan forensik klinik pada dasarnya tidak hanya dilaksanakan di IGD saja, tetapi juga di ruang perawatan, serta saat pasien kontrol di poliklinik. Pemeriksaan baru dianggap selesai jika dokter telah dapat mengetahui derajat luka, yaitu pada saat hasil pengobatan dan prognosis telah dapat ditentukan. Semua dokter yang terlibat dalam pemeriksaan terhadap pasien ini merupakan orang yang harus menandatangani VER. Kenyataan yang terjadi di banyak RS saat ini, hanya dokter IGD saja yang dibebani tanggung jawab sebagai dokter yang menandatangani VER. Hal ini kurang tepat, karena dokter IGD tidak dapat dimintai tanggungjawabnya atas berbagai hasil pemeriksaan yang tidak diperiksanya sendiri, yaitu mengenai data –data saat pasien menjalani rawat inap dibawah penanganan dokter lain.. Pada kasus semacam ini seharusnya yang menandatangani VER adalah dokter IGD dan dokter yang merawat pasien tersebut secara bersama-sama.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa RS mulai memanfaatkan Dokter Konsultan Forensik Klinik (DKFK) dalam penatalaksanaan pemeriksaan forensik klinik di RS. Manfaat adanya DKFK dalam pelayanan kesehatan di RS adalah:
1. Penambahan pelayanan spesialistik di RS: Hal ini penting untuk memberikan nilai tambah dalam akreditas RS
2. DKFK mengambil beban dokter klinik, sehingga dokter klinik dapat memberikan pelayanan klinik yang lebih baik
3. Mutu VER lebih baik, sehingga mengurangi kemungkinan adanya permasalahan hukum yang berkaitan pelayanan forensik klinik
4. DKFK dapat membantu perbaikan SOP yang berkaitan dengan prosedur medikolegal
5. Proteksi RS dari permasalahan medikolegal
6. Sumber pemasukan RS
Bentuk keterlibatan seorang DKFK dalam penanganan kasus forensik klinik di RS ada dalam dua bentuk:
Dokter konsultan forensik klinik (DKFK) yang berperan secara penuh:
Pada kasus seperti tersebut diatas, setelah dokter IGD mendapati bahwa kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana, maka konsultan forensik klinik dipanggil, dan melakukan pemeriksaan terhadap pasien bersama dokter kliniknya. Selanjutnya DKFK akan memantau perkembangan kasusnya, dengan memeriksa pasien di ruang perawatan (jika pasien dirawat inap) atau pada saat kontrol di poliklinik (jika pasien rawat jalan). Pemeriksaan forensik klinik oleh DKFK dalam masa rawat inap biasanya dilakukan minimal 2 kali, yaitu pada saat masuk ke ruang perawatan (untuk pencatatan awal perlukaan ) dan pada saat menjelang pasien dipulangkan. Jika pengobatan telah selesai dan derajat luka telah ditentukan, maka DKFK membuat VER dan menandatanganinya sendiri. Jika ada panggilan untuk memberikan keterangan ahli di Pengadilan, DKFK datang sendiri ke Pengadilan untuk memberikan keterangan ahli. Model semacam ini memindahkan beban sepenuhnya dari dokter klinik ke DKFK, dan membuat VER menjadi lebih bernilai secara hukum.
Dokter konsultan forensik klinik yang berperan parsial:
Pada model ini DKFK membuat alur dan tata cara tatalaksana pemeriksaan dan penanganan forensic klinik atas pasien yang merupakan korban tindak pidana. Pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan medis dilakukan oleh dokter kllinik atas dasar SOP tersebut. Dalam pelaksanaan pemeriksaan dokter klinik bebas berkonsultasi dengan dokter konsultan forensik klinik. Setelah pemeriksaan dan pengobatan selesai dan derajat luka dapat ditentukan, maka semua berkas Rekam Medik dan SPV diserahkan oleh bagaian Rekam Medik ke DKFK untuk dibuatkan konsep VERnya. Berdasarkan konsep VER tersebut bagaian Rkam Medik mengetik VER, meminta tandatangan dari semua dokter yang memeriksa dan merawat korban, dan juga meminta tandatangan dari DKFK sebagai countersign (mengetahui) di sudut kiri bawah. Dalam hal ada pemanggilan untuk memberikan keterangan ahli, dokter pemeriksa harus hadir ke Pengadilan, dengan ditemani oleh DKFK. Model semacam ini memindahkan sebagian beban dari dokter klinik ke DKFK, membuat VER yang formatnya lebih baik dan lebih mudah diterima oleh kalangan hukum.
PEMERIKSAAN BARANG BUKTI
Pada saat dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan perlukaan ada kemungkinan diperoleh barang bukti yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, seperti anak peluru, serpihan misil, senjata yang tertancap pada tulang dsb. Berbagai benda tersebut dapat diperoleh di IGD pada saat pemeriksaan, tetapi dapat juga diperoleh pada saat operasi. di ruang OK.
Barang bukti tersebut harus disimpan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara forensik dan dibuatkan berita acara pemeriksaan barang bukti. Barang bukti ini sebaiknya baru diserahkan kepada penyidik apabila telah dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Setelah diperiksa, barang bukti tersebut dibungkus, dan dimasukkan ke dalam amplop, disegel, diberi label dan dilak dengan diberi cap. Selanjutnya dibuat berita acara pembungkusan dan penyegelan serta berita acara serah terima barang bukti. Barang tersebut diserahkan kepada petugas kepolisian yang meminta VER, dengan meminta tanda tangan petugas pada berita acara serah terima bartang bukti. Kepada penyidik yang sama diberikan satu kopi berita acara pemeriksaan, pembungkusan dan penyegelan barang bukti yang telah dibuat dan ditandatangani oleh dokter. Dalam hal RS tersebut telah mempunyai DKFK, maka penanganan barang bukti ini menjadi tugas dari konsultan tersebut.
PEMBUATAN VER
Pada beberapa RS, beban pembuatan konsep VER dilakukan oleh petugas Rekam Medik. Hal ini merupakan hal yang kurang tepat, karena kewajiban dan kewenangan membuat VER ada pada dokter yang memeriksa dan merawat pasien. Dokter adalah orang yang paling mengetahui mengenai perlukaan yang terjadi pada pasien, sehingga paling mengetahui mengenai mengetahui mengenai derajat luka yang terjadi. Penentuan derajat luka merupakan tanggung jawab dokter yang paling utama karena atas dasar kesimpulan itulah berat ringannya tindak pidana yang telah diperbuat tersangka dapat ditentukan.
Pada beberapa RS lainnya, pembuatan VER dibebankan kepada dokter IGD yang pertama kali menangani korban. Hal ini juga kurang tepat, karena dokter IGD sesungguhnya hanya mengetahui mengenai jenis luka dan kekerasan pada kasus tersebut, tetapi dia tidak mengatahui mengenai seberapa parah kelainan yang terjadi pada pasien, khususnya setelah dilakukan berbagai pengobatan oleh dokter yang merawat pasien lebih lanjut.
Setelah selesai pengobatan dan derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter ruang membantu membuatkan resume kasus. Berdasarkan resume tersebut dokter IGD dan dokter yang merawat pasien merancang konsep VER dan membuat kesimpulan yang mereka anggap paling tepat. Berkas ini kemudian diserahkan ke bagian TU Visum untuk dibuatkan VERnya. Setelah VER selesai semua dokter yang memeriksa pasien membubuhkan tandatangannya. Bersama VER ini, bagian TU Visum juga membuatkan surat pengantar untuk VER yang ditujukan ke kepolisian peminta VER yang ditandatangani oleh direktur RS.
VER SEMENTARA
Ada kemungkinan penyidik datang ke RS dan meminta agar dokter segera membuat VER, padahal ketika itu pasien masih menjalani pengobatan. Tujuan permintaan VER yang lebih dini tersebut biasanya untuk bahan laporan ke atasan penyidik dalam rangka pengembangan kasus, atau untuk dijadikan dasar penangkapan dan penahanan tersangka atau untuk kepentingan lainnya. Pada keadaan ini, dokter sebaiknya mengabulkan dan membuat VER sementara. VER sementara adalah VER yabg dibuat pada saat derajat luka yang pasti belum dapat ditentukan. VER sementara ini bentuknya sama persis dengan VER pada umumnya, akan tetapi mengandung kata (sementara) dibawah kata VISUM ET REPERTUM, dan kesimpulannya hanya memuat mengenai jenis luka dan kekerasan penyebabnya, serta temuan lain yang ditemukan, tanpa menyebutkan derajat luka. Setelah pasien selesai menjalani pengobatan dan derajat lukanya sudah dapat ditentukan, maka dibuat VER lanjutan. Pada VER ini dilaporkan semua temuan dari awal sampai akhir, dan dibuatkan kesimpulan secara keseluruhan termasuk derajat lukanya.
Pada kasus tertentu bisa saja terjadi bahwa pembuat VER sementara dan VER lanjutan adalah dokter dari dua instansi yang berbeda. Sebagai contoh, seorang korban tindak pidana karena kegawatannya berobat ke klinik A, lalu setelah menjalani pengobatan gawat daruratnya dia melapor ke polisi. Penyidik lalu membawa korban ke RS B dan meminta visum dari RS B. Pada kasus ini VER sementara (berisikan data luka dan jenis kekerasan) merupakan kewajiban dokter di klinik A, sedangkan VER lanjutannya (berisi derajat luka) merupakan kewajiban dokter dari RS B. Dengan demikian, penyidik harus membuat satu lagi SPV yang ditujukan ke klinik A berisi permintaan VER sementara.
Pada keadaan lainnya bisa saja terjadi seorang datang berobat ke RS B setelah mengalami tindak pidana. Penyidik yang menangani kasus ini menyerahkan SPV ke RS B. Setelah menjalani pengobatan di ruang IGD, pasien minta agar ia dirujuk ke RS C yang lokasinya lebih dekat ke rumahnya. Pada kasus ini RS B hanya punya kewajiban membuat VER sementaranya sedangkan VER lanjutannya menjadi beban RS C.
KAPAN VER HARUS SELESAI ?
Salah satu hal yang sering ditanyakan adalah kapan suatu VER harus diselesaikan terhitung dari sejak pengobatan pasien selesai. Pada umumnya VER baru mulai dikonsep dan diketik kalau penyidiknya meminta atau menagih VER yang permah dimintanya. Tenggang waktu antara penagihan tersebut sampai selesainya VER biasanya berkisar antara beberapa hari sampai satu atau dua minggu.
Pada beberapa RS yang sistemnya sudah lebih baik, VER segera dibuat setelah pengobatan pasien selesai, tanpa menunggu tagihan VER dari penyidik. Setelah selesai VER segera diserahkan ke penyidik bersama barang bukti lainnya. Cara ini lebih bagus karena menunjukkan tertib administrasi yang baik dan mencegah penumpukan VER di dalam RS. Pada prinsipnya kapanpun penyidik menganggap perlu, dia boleh meminta VER kepada RS. Jika pada saat itu pengobatan sudah selesai atau pengobatan belum selesai tetapi derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter sebaiknya segera membuatkan VERnya. Sebaliknya, jika pada saat itu derajat luka belum dapat ditentukan maka dokter cuklup membuatkan VER sementara saja. VER lanjutannya baru dibuat setelah pengoabatan selesai dan derajat luka telah dapat ditentukan.
Meskipun demikian, karena dalam KUHAP diatur bahwa penahanan mempunyai
batasan 20 hari, kadang penyidik mendesak dokter untuk menyerahkan VER dalam tenggang waktu 20 hari sejak penahanan. Dalam hal ini, jika tidak ada halangan dokter sebaiknya membuatkan VER dalam waktu 20 hari.
PENUTUP
Setiap RS dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatannya tidak terlepas dari kemungkinannya menangani kasus perlukaan dan keracunan. Pada kasus-kasus semacam ini dokter harus melakukan pemeriksaan secara lebih teliti dan lengkap karena kebanyakan dari kasus ini ternyata merupakan kasus tindak pidana. Dalam hal penyidik kemudian mengirimkan surat Permintaan Visum et Repertum, maka semua dokter yang memeriksa dan mengobati pasien ini punya kewajiban hukum untuk membuat VER dan memberikan keterangan ahli di Pengadilan. Pada beberapa RS yang telah memiliki Dokter Konsultan Forensik Klinik, beban pembuatan VER, pemeriksaan barang bukti, dan pemberian keterangan ahli di Pengadilan dialihkan dari dokter klinik ke konsultan. Hal ini memberikan dampak pula pada dihasilkannya VER yang lebih bermutu dan bernilai secara hukum, mencegah kemungkinan adanya permasalahan sehubungan dengan VER.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar